Senin, 09 Maret 2015

YADNYA





PENGERTIAN YADNYA
Kata Yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata “yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban. Kemudian penulisannya diindonesiakan dari Yajna menjadi Yadnya.
Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga.

TUJUAN YADNYA
Bila direnungkan tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari sloka dibawah ini:

“sahayajnah prajah srishtva, paro vacha pajapatih,
Anema prasavish dhvam, esha yostvisha kamaduk”
Artinya:
Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi) dari keinginanmu.

Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas, bahwa kita melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan mengawali menciptakan dunia besrta isinya berdasarkan Yadnuhan itu diteruskan agar kehidupan di dunia ini berlanjut terus dengan saling beryadnya.

Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan Rnam (hutang). Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus dibayar dengan Yadnya (Tri Rna). Tri Rna ini dalam kehidupan sehari-hari dapat dibayar dengan melaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya, kemudian Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya, dan yang terakhir yaitu Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

Memang konsep Agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia ini. Untuk terwujudnya keseimbangan tersebut dalam Umat Hindu diajarkan Tri Hita Karana yaitu tiga factor yang menyebabkan terwujudnya suatu kebahagiaan.

Berkaitan dengan itu, dalam Bhagawadgita III.2 menyebutkan:

“ishtan bhogan hivodeva, donsyante yajna bhavitah,
tair dattan apradayabho, yobhunkte stena eca sah”
Artinya: 

Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan memberikan kamu kesenangan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri.

Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13 menyebutkan:

“yajna sisyah sinah santo, nucyanta sarwa kilbisaih,
bhujate tuagham papa, ye pacauty atmakatanat”
Artinya:

Orang yang baik, maka apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan kepentingan sendiri, mereka itu adalah makan dosanya sendiri.

Jadi dengan petikan sloka di atas dapat ditegaskan bahwa Yadnya itu bertujuan untuk melangsungkan kehidupan yang berkesinambungan yaitu dengan cara:

·         Membayar Rna (hutang) untuk mencapai kesempurnaan hidup.
·         Melebur dosa untuk mencapai kebebasan yang sempurna.

FUNGSI DAN MAKNA YADNYA
Jika kita lihat dari tujuan pelaksanaan Yadnya yang dijelaskan diatas maka secara umum fungsi daripada Yadnya adalah sebagai sarana untuk mengembangkan serta memelihara kehidupan agar terwujud kehidupan yang sejahtra dan bahagia atau kelepasan yakni menyatu dengan Sang Pencipta.
Berdasarkan uraian diatas dapat dijabarkan fungsi dari pelaksanaan Yadnya, yaitu sebagai berikut:

1.      Sarana untuk mengamalkan Weda
Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan Weda yang dilukiskan dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa. Yang kemudian symbol tersebut menjadi realisasi dari ajaran Agama Hindu.

2.      Sarana untuk meningkatkan kualitas diri
Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai. Dalam upaya meningkatkan kualitas diri, umat Hindu selalu diajarkan untuk buatan baik. Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.

3.      Sebagai sarana penyucian
Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal bisa disucikan seperti diadakannya Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada bagian-bagian tertentu mengandung makna dan tujuan untuk penyucian atau pembersihan.

4.      Sarana untuk terhubung Kepada Ida Sang Hyang Widhi
Yadnya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, seperti yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

5.      Sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih
Dengan sebuah yadnya seseorang mampu mengungkapkan rasa syukur dan ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sesame manusia, maupun kepada alam, seperti yang sudah biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya.

LATAR BELAKANG YADNYA
Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa menyatukan seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar.Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang saat ini Negara Cina. Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada.

Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama Hindu sangat pesat termasuk di Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di Daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang.Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana. Arti kata Tri Hita Karana yakni Tiga keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan, diantaranya:
  1. Parhyangan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan
  2. Pawongan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia
  3. Palemahan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam

Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan Tatwa (aturan/kitab suci), Susila (kebiasaan) dan Upacara. dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya.Panca Yadnya menurut ajaran agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
    Sahayajñáh prajah strishtva
    puro vácha prajápatih
    anena prasavishya dhvam
    esha va stv ishta kámadhuk
(Bh. G. III.10)

    Dahulu kala Hyang Widhi (Prajapati), menciptakan manusia dengan jalan yadnya, dan bersabda: "dengan ini (yadnya) engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan (kamadhuk) sesuai dengan keinginanmu".
    Deván bhávayatá nena
    te devá bhávayantuvah
    parasparambhávayantah
    sreyah param avápsyatha.
(Bh. G. III.11)

    Dengan ini (yadnya), kami berbakti kepada Hyang Widhi dan dengan ini pula Hyang Widhi memelihara dan mengasihi kamu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Tanpa penciptaan melalui yadnya-Nya Hyang Widhi maka alam semesta berserta segala isinya ini, termasuk pula manusia tidak mungkin ada. Hyang Widhilah yang pertama kali beryadnya menciptakan dunia dengan segala isinya ini dengan segala cinta kasih-Nya. Karena inilah pelaksanaan yadnya di dalam kehidupan ini sangat penting artinya dan   merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia di dunia. Karena itu pula kita dituntut untuk mengerti, memahami dan melaksanakan yadnya tersebut di dalam realitas hidup sehari-hari sebagai salah satu amalan ajaran agama yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :
  1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa.
  2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam.
  3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
  4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
  5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat Hindu.

kegiatan Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang yang mesti dibayar sehubungan dengan keberadaan kita. adapun tri rana tersebut adalah
  1. Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai para dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap mahluk.
  2. Pitra Rna, hutang kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran kita serta perhatiannya semasahidup.
  3. Rsi Rna, hutang kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas bimbingannya selama ini.
hutang – hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang kemudian diaplikasikan dengan Panca Yadnya. adapun cara pembayaran tersebut adalah:
  1. Dewa Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
  2. Pitra Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
  3. Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya.

Sesuai dengan agama dan tradisi di Bali, masyarakat Bali Hindu sesungguhnya manusia yang penuh ritual agama yang terbungkus dalam Panca Yadnya. Ritual agama itu dilakukan terhadap manusia Bali Hindu dari sejak dalam kandungan, dari lahir sampai menginjak dewasa, dari dewasa sampai mulih ke tanah wayah (meninggal).

Pemberkahan demi pemberkahan dilakukan untuknya dengan segala bebantenan serta mantra-mantranya agar munusia Bali Hindu itu menjadi manusia yang berbudi luhur atau memiliki sifat kedewataan di mayapada ini dan bisa amoring acintya dengan Sanghyang Widhi di alam vaikunta (alam keheningan).

Inilah daftar ritual agama yang dilakukan manusia Bali Hindu sesuai dengan tradisi di Bali:
  1. Pegedong-gedongan - dilakukan saat kehamilan berumur 175 hari ( 6 bulan kalender). Upacara pertama sejak tercipta sebagai manusia.
  2. Bayi Lahir - upacara angayu bagia atas kelahiran. Perawatan terhadap ari-ari si bayi.
  3. Kepus Puser - bayi mulai diasuh Hyang Kumara.
  4. Ngelepas Hawon - dilaksanakan pada bayi berumur 12 hari.
  5. Kambuhan - upacara bulan pitung dina (42 hari), perkenalan pertama memasukkan tempat suci pemrajan.
  6. Nelu Bulanin/Nyambutin - upacara tiga bulanan (105 hari), penekanannya agar jiwatma sang bayi benar-benar berada pada raganya.
  7. Otonan (Oton Tuwun) - upacara saat pertama bayi menginjakan kakinya pada Ibu Pertiwi (210 hari).
  8. Tumbuh Gigi - mohon berkah agar gigi si bayi tumbuh dengan baik.
  9. Meketus - si anak sudah tidak lagi diasuh Hyang Kumara (tidak lagi mebanten di pelangkiran Hyang Kumara)
  10. Munggah Daha / raja sewala - upacara menginjak dewasa, saat-saat merasakan getaran asmara.
  11. Potong Gigi/metatah - simbolis pengendalian Sad Ripu.
  12. Mawinten - mohon waranugraha utk mempelajari ilmu pengetahuan.
  13. Upacara Perkawinan - (a) medengen-dengenan (mekala-kalaan), (b) natab.
  14. Upacara Ngaben/Palebon - pengembalian panca mahabuta.
  15. Upacara Nyekah/Malagia - Atma Wedana yang dilanjutkan dengan ngelingihin Betara Hyang di pemrajan.
  16. Upacara Piodalan dan Pecaruan – memohon ketentraman alam

Semua upacara di atas disertai dengan bebantenan sesuai dengan fungsi atau peruntukannya. Daftar ritual agama di atas menunjukkan bahwa manusia Bali Hindu secara tradasi penuh dengan ritual agama. Seolah-olah tiada hidup tanpa ritual agama baik pada dunia maya ini maupun pada dunia akhirat (sekala dan niskala).

Jika semua upacara itu bisa diterapkan sesuai dengan aturannya, maka manusia Bali diharapkan menjadi manusia yang memiliki sifat yang mengarah kesifat kedewataan, pergerakan perilaku dari tamasik- rajasik mengarah ke rajasik-satwika atau bahkan pada satwika. Perputaran perilaku itu dapat dihasilkan dari begitu dalam makna tahap demi tahap ritual agama itu utk menghantarkan menjadi manusia yang bersifat rajasik-satwika atau satwika dari getaran-getaran energi positif getaran bebantenan dan mantra-mantranya secara sinergistik.

Tingkatan-Tingkatan Yadnya

            Tingkatan Yadnya didasari oleh besar kecilnya upakara yang dipersembahkan dan dibedakan menjadi tiga tingkatan,yaitu :
-          Nista
-          Madya
-          Utama
Masing-masing dari ketiga tingkatan diatas dapat dibedakan dalam tiga tingkatan lagi berdasarkan dari besar kecilnya upakara yang menjadi sarana persembahannya, yaitu :
-          Nistaning Nista
-          Nistaning Madya
-          Nistaning Utama
-          Madyaning Nista
-          Madyaning Madya
-          Madyaning  Utama
-          Utamaning Nista
-          Utamaning Madya
-          Utamaning Utama

Perbedaan tingkatan yadnya ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan umat yang akan melaksanakan karena tujuan yadnya yang menuju kesejahtraan dan kebahagian tidak memberiikan penderitaan bagi umat.Dan dari segi kualitas kesembilan tingkatan yadnya tersebut tidaklah ada perbedaan sepanjang dilaksanakan dengan rasa bakti,ketulusan dan kesucian hati.


Hubungan Yadnya Dengan Tri Guna

           
Dilihat dari segi kualitas tri guna yang melatar belakangi pelaksanaan yadnya, Bhagawadgita membedakan tiga jenis yadnya, yaitu :
-          Sattwika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan dengan keiklasan tanpa mengharapkan hasilnya dan dilaksanakan sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan, serta sesuai dengan sastranya.

Aphalakanksibhir yajno vidhi-drsto ya ijyate,
Yastavyam eveti manah samadhaya sa sattvikah
                    (bhagawadgita.XVII.11)
Artinya :
Yadnya yang dihaturkan sesuai dengan sastranya, oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya dan teguh kepercayaannya, bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryadnya, adalah satwika(baik)

-          Rajasika Yadnya
Adalah yadnya yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.

Abhisandhaya tu phalam dambhartham api caiva yat,
Ijyate bharata-srestha tam yajnam vidhi rajasam
                    (bhagawadgita. XVII.12)
Artinya :
Akan tetapi apa yang dihaturkan degan pengharapan akan buahnya atau hanya untuk memamerkan, ketahuilah oh arjuna, bahwa yadnya itu adalah rajasika(bernafsu).

-          Tamasika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya, tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada daksina, serta tidak dilandasi keyakinan dan kepercayaan.

Vidhi-hinam asrstannam mantram-hinam adaksinam,
Sraddha-vivirahitam yajnam tamasam paricaksate.
                    (bhagawadgita, XVII.13)
Artinya:
Yadnya yang tidak sesuai degan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan dan tidak ada punia daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka sebut yadnya yang tamasika(bodoh).

Dengan demikian tinkat kualitas yadnya dibedakan atas dasar pengaruh tri guna yang memberi motivasi dalam pelaksanaannya.Dalam tingkatan ini besar kecilnya tingkatan yadnya tidak menjadi ukuran, namun tingkat spiritual suatu persembahan/yadnya lebih ditentukan oleh sradha, bakti, keimanan, keiklasan serta jauh dari rasa ego.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

            Panca yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas yang didasari atas rasa bhakti dan kasih sayang serta tanpa pamrih.Yadnya memiliki lima pembagian (panca yadnya), yaitu dewa yadnya, manusa yadnya, butha yadnya, pitra yadnya dan rsi yadnya.Pelaksanaan yadnya ini bukan ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun oleh tri guna.Karena bagaimanapun besarnya sebuah upacara, jika tanpa didasari oleh ketulusan, iklas,bhakti, kasih sayang dan tanpa pamrih(phala). Upacara tersebut tidak akan menjadi sempurna (kurang bermakna).

Saran

          Berdasarkan uraian diatas hendaknya kita menyadari bahwa nilai sebuah yadnya bukan ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun bagaimana cara kita belajar untuk iklas, tulus, penuh kasih sayang dan didasari oleh hati yang suci nirmala dalam melaksanakan sebuah pengorbanan (yadnya).