- Nada,
- Windu,
- Arda Candra,
- Angka telu (versi Bali),
- Tarung.
Semuanya melambangkan Panca Mahabutha,
unsur-unsur sakti Hyang Widhi, yaitu: Nada = Bayu, angin, bintang; Windu
= Teja, api, surya/ matahari; Arda Candra = Apah, air, bulan; Angka
telu = Akasa, langit, ether; Tarung = Pertiwi, bumi, tanah.
Unsur-unsur Panca Mahabutha di alam raya itu dinamakan Bhuwana Agung. Panca Mahabutha ada juga dalam tubuh manusia:
- Daging dan tulang adalah unsur Pertiwi
- Darah, air seni, air kelenjar (ludah, dll) adalah unsur Apah
- Panas badan dan sinar mata adalah unsur Teja
- Paru-paru adalah unsur Bayu
- Urat syaraf, rambut, kuku, dan 9 buah lobang dalam tubuh: 2 lobang telinga, 2 lobang mata, 2 lobang hidung, 1 lobang mulut, 1 lobang dubur, dan 1 lobang kelamin, adalah unsur Akasa.
Unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh
manusia disebut sebagai Bhuwana Alit. Dalam kaitan inilah upacara Pitra
Yadnya dilakukan ketika manusia meninggal dunia di mana dengan upacara
ngaben (ngapen=ngapiin), unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh manusia
(Bhuwana Alit) dikembalikan/ disatukan ke Panca Mahabutha di alam
semesta (Bhuwana Agung).
Kesimpulan: Simbol Ongkara adalah simbol ke Maha Kuasaan Hyang Widhi.
Simbol Ongkara di Bali pertama kali
dikembangkan oleh Maha-Rsi: Ida Bhatara Mpu Kuturan sekitar abad ke11 M,
ditulis dalam naskah beliau yang bernama “Tutur Kuturan”
Ongkara Untuk Menuju Sat(Yang Tak Berwujud)
Seperti penjelasan diatas Ongkara
merupakan simbol suci untuk mempermudahkan umat manusia untuk menuju
Tuhan, SAT(yang tak berwujud) Dari Ongkara muncullah Dwi Aksara yaitu
Ang dan Ah. Dwi Aksara juga adalah perlambang Rwabhineda (Dualitas), Ang
adalah Purusa (Bapa Akasha) dan Ah adalah Prakerti (Ibu Prtivi).
Pada tahapan berikutnya, dari Dwi Aksara ini muncullah Tri Aksara, yaitu Ang, Ung dan Mang. Dari banyak sumber pustaka, dikatakan bahwa AUM inilah yang mengawali sehingga muncullah OM. (Apakah ini petunjuk bahwa ONG itu lebih dulu/tua daripada OM?)
Pada tahapan berikutnya, dari Dwi Aksara ini muncullah Tri Aksara, yaitu Ang, Ung dan Mang. Dari banyak sumber pustaka, dikatakan bahwa AUM inilah yang mengawali sehingga muncullah OM. (Apakah ini petunjuk bahwa ONG itu lebih dulu/tua daripada OM?)
Pada tahapan berikutnya, dari Tri Aksara
muncullah Panca Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, dan ING. Dari Panca
Aksara kemudian muncullah Dasa Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG,
ING, NANG, MANG, SING, WANG, dan YANG.
Pada arah mata angin, Dasa Aksara
terletak berurutan dari Timur = SANG, Selatan = BANG, Barat = TANG,
Utara = ANG, dan tengah-tengah/poros/pusat = ING, kemudian Tenggara =
Nang, Barat Daya = Mang, Barat Laut = SING, Timur Laut = WANG dan
tengah-tengah/poros/pusat = YANG. Ada dua aksara yang menumpuk di
tengah-tengah, yaitu ING dan YANG. (Apakah ini asal muasal YING dan
YANG?)
Tapak Dara (+) adalah simbol penyatuan
Rwabhineda (Dualitas), (|) dan segitiga yang puncaknya ke atas, mewakili
Purusa/Bapa Akasha/Maskulin/Al/El/God/Phallus. Sedangkan (-) dan
segitiga yang puncaknya ke bawah mewakili Prakerti/Ibu
Prtivi/Feminim/Aloah/Eloah/Goddess/Uterus.
Hanya dengan melampaui Rwabhineda
(dualitas), menyatukan/melihat dalam satu kesatuan yang utuh/keuTUHAN,
maka pintu gerbang menuju Sat akan ditemukan. KeuTUHAN disini, bukan
menjadikan satu, namun merangkum semuanya, menemukan intisari dari semua
perbedaan yang ada tanpa menghilangkan atau menghapus perbedaan yang
ada. Bukan juga merangkul semuanya dalam satu sistem tertentu, bukan
juga untuk satu agama tertentu, tapi temukan dan kumpulkanlah semua
serpihan kebenaran yang ada di setiap perbedaan yang membungkusnya.
Inilah BHINEKA TUNGGAL IKA TAN HANNA DHARMA MANGRWA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar