Jumat, 12 September 2014

PENGERTIAN BARONG DAN JENIS-JENISNYA

Asal-Usul Istilah Barong
Barong menurut Kamus Bali-Indonesia (Warna, 1993: 63) merupakan perwujudan binatang mitologi sebagai lambang kebenaran untuk melawan kekuatan kebatilan yang merusak. Menurut Kardji (1993: 53) kata barong berasal dari kata Sanskerta “b(h)arwang“, yang berarti bear (dalam bahasa Inggris) atau binatang beruang (dalam bahasa Indonesia).
Sedangkan Zoetmulder, 1995: 112; Titib, 2001: 417 berpendapat bahwa kata barong berasal dari bahasa Jawa Kuna “barwang” yang berarti beruang, beruang madu (Ursus malayanus). Kata barwang ini dapat ditemui dalam kitab Ramayana (12.61), Sumanasantaka (159.3), Sutasoma (95.6), Arjuna Wijaya (10.14).
Dalam kitab Sutasoma (131.1c) dan Bharatayuddha (9.3; 46.14) ada ditemukan kalimat singha barwang
alayu, yang sering dikombinasi menjadi singha barong.

Dengan demikian bagi Titib, kata barong berasal dari kata beruang, mengingat binatang beruang sudah sejak lampau telah populer dikenal di India, Tiongkok, Asia Tenggara, Sumatra, Jawa dan Bali, terbukti telah populer disebut-sebut di dalam karya sastra. Banyaknya sumber-sumber tulisan yang telah dikemukakan oleh Titib, tentu semua itu tidak bisa diabaikan, karena telah memberi pengaruh besar dalam membentuk bahasa dan budaya Jawa-Bali di masa lampau (Indianisasi).
Oleh karena itu, barong merupakan artefak budaya yang berakar pada budaya spiritual bangsa, khususnya Bali sendiri, yang mengandung unsur universal dan sakral. Walau banyak orang mengira barong sebagai pengaruh budaya luar, tetapi kalau kemudian ditelusuri keberadaan barong dengan berbagai ragam jenis dan bentuk serta namanya yang banyak ditemukan di Bali, maka wujud barong tidak lagi hanya berupa singa dan beruang saja.
Selain itu, ada ditemukan barong berbentuk manusia yang disebut barong landung dan barong brutuk. Karena itu kata barong asal-usul istilah (katanya) semestinya ditelusuri dan dikaji kembali dari persepsi kebudayaan dan bahasa Bali sendiri, yang kaya akan beragam artefak barong, bukan dari kebudayaan luar yang ternyata sangat miskin dengan artefak barong.
Berangkat dari persepsi yang demikian itu, maka diduga kata barong berasal dari kata-kata dalam bahasa Bali sendiri, yaitu Ba + Rong atau Bah + Rong. Ba atau Bah suku kata depan dari kata b(h)aga artinya badan (Anandakusuma, 1986: 14) dan baga artinya lubang pada kelamin wanita (Warna, 1993: 51), juga bisa berasal dari kata bah diambil dari kata jadian bah bangun (bahasa Bali) artinya ukuran panjang, lebar dan tinggi dari Bangunan Tradisional Bali (Warna, 1993: 51), serta rong juga artinya ruang atau rongga (Anandakusuma, 1986: 162). Dengan demikian barong (bahrong) dapat berarti ruang atau rongga dari badan atau tubuh dilengkapi dengan lubang masuk ruangnya, atau juga berarti ukuran panjang, lebar dan tinggi dari ruang (bah bangun rong) dari makhluk mitologi yang dibuat.
Ini akan sangat tepat dengan perubahan/pertukaran pemakaian huruf b-p-m dalam kata jadian bahasa Bali, misalnya bapang (hiasan leher) menjadi mapangin (mengisi/memasang bapang pada leher). Umum di kalangan pendukung budaya barong, kata bapang juga dipakai untuk menyebut Tarian Barong Ketet, mapang berarti menarikan barong ketet.
“Sira sane mapang punika?” artinya siapa yang menarikan barong ketet itu. Demikian pula halnya, kata barong artinya ruang/rongga/lubang dari badan bisa berubah menjadi marong, yang kemudian dalam konteks tata ruang atau Arsitektur Tradisonal Bali artinya berisi atau memiliki ruang. Misalnya: marong telu berarti beruang tiga, marong kalih berarti memiliki ruang dua (Warna, 1993: 586). Palinggih Kamulan punika sane marong telu artinya bangunan pemujaan yang bernama Kamulan itu adalah yang beruang tiga.
Demikian juga dengan kata barong (rongga/lubang dalam dari badan) dapat mengalami perubahan ucapan menjadi marong artinya memiliki ruang atau rongga atau ukuran panjang, lebar dan tinggi.
Kemudian, bila dikaitkan dengan seni arca sebagai wahana dewata yang menjadi pusat pemujaan di Bali (bagian dari proses Indianisasi), “ba” atau “bah” pada kata barong dapat dikaitkan dengan suku awal dari kata b(h)awa artinya sinar atau menjelma pada mahkluk seperti pada kata punarbhawa atau inkarnasi (Tim Sabha Sastra Bali, 2005: 20). Tentu inkarnasi yang dimaksud di sini adalah inkarnasi Tuhan yang dikenal dengan berbagai wujud untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran yang disebut awatara.
Kemudian timbul keinginan untuk dapat mementaskan atau menarikan kembali bentuk-bentuk bhawa (bentuk inkarnasi Tuhan ke dalam wujud mahkluk) tersebut, maka dibuatlah arcanya dalam ukuran besar, bentuk barong/marong (berongga). Tujuan pembuatan rongga/lubang ini agar lebih ringan dan sebagai tempat leluasa (ruang gerak) bagi penari agar lebih luwes dalam menarikan bhawa itu.
Jadi, barong adalah perwujudan mahkluk mitologi (bhawa dari Tuhan), yang bagian dalamnya dibuat beruang atau berongga sesuai dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh manusia (ergonomik) yang akan menarikan, sebagai lambang peringatan pertarungan antara kebenaran, kebajikan dalam melawan kebatilan atau kekuatan yang merusak.
-
Jenis-Jenis Barong di Bali
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa bentuk-bentuk barong di Bali memiliki banyak macam, seperti:
  • Barong Bangkal, adalah barong berbentuk babi jantan besar;
  • Barong Bangkung, adalah barong berbentuk induk babi;
  • Barong Ket/Ketet/Keket, barong dengan bentuk binatang mitologis perwujudan dari “Banaspati Raja”;
  • Barong Landung, barong berbentuk manusia tinggi besar (berbeda dari barong lain). Perwujudan tokoh yang laki-laki dengan muka seram berwarna hitam disebut Jero Gede, sedangkan tokoh wanita dengan muka lucu (mata sipit, jidat dan pipi menonjol, kuping lebar) berwarna putih atau kuning disebut Jero Luh. Kedua tokoh ini adalah tokoh sentral yang harus ada sebagai lambang pemujaan, dan untuk tujuan pemenuhan lakon pertunjukkan dapat ditambah dua sampai tiga tokoh lainnya (Warna, 1993: 63).
Jenis-jenis barong dan fungsi yang lebih lengkap diuraikan dan dijelaskan oleh Titib (2001: 418-422), sebagai berikut:
Barong Ket

Barong Ket juga sering disebut Barong Ketket, Barong Rentet, Barong Ketet. Jenis barong ini merupakan penggambaran Banaspatiraja yang berarti pelindung hutan atau pohon-pohonan. Pelindung hutan tersebut adalah si raja hutan yang berupa binatang singa atau macan dan binatang hutan lainnya. Karena itu, Barong Ket bentuknya merupakan kombinasi dari singa, macan, sapi dan beruang yang mempunyai kekuatan magis.
Jenis barong ini terdapat hampir di semua desa adat di Bali, biasanya disertai dengan Rangda sebagai pendampingnya (Yoga, 2000: 30).
Di India dikenal juga binatang suci yang mirip Barong Ket di Bali, namanya Sarabha. Di dalam kamus Sansekerta digambarkan binatang mitos seperti singa (mahamraga) dan sejenis singa (mrgendravisesa).
Di dalam kitab-kitab agama, juga dalam Siwa Purana, bagian Satarudriya Samhita, dan kitab Sarabha Upanisad, diceritakan Wisnu berwujud Narasimha untuk membunuh raksasa Hiranyakasipu. Selesai membunuh Hiranyakasipu, Narasimha masih mengembara dengan garangnya menghancurkan segala sesuatunya. Para dewa memohon bantuan Dewa Siwa untuk mengatasi masalah tersebut. Siwa kemudian mengambil wujud sebagai Sarabha (Sarabhesa) dan menangkap Narasimha serta mencengkeram dengan dua kakinya dan memotong tubuhnya. Setelah itu, Wisnu merasa sangat bahagia dibebaskan dari inkarnasinya itu dan kembali ke Vaikuntha, untuk berterima kasih kepada Siwa. Oleh karena itu, Sarabha juga dikenal dengan nama Simhaghna atau pembunuh Narasimha (Ramachandra, 1992: 199).
Di dalam suatu mitologi tentang Kirthimuka yang dianggap sebagai penjelasan Barong Ket mengatakan bahwa: Bhatara Çiwa yang sedang bertapa digoda oleh raksasa Rahu. Beliau marah dan dari mata yang ketiga dipancarkan Kala Kirthimuka untuk membinasakan Rahu. Sebelumnya, Rahu mohon ampun atas kekhilafannya, namun karena Çiwa sudah terlanjur menggunakan Kirthimuka, maka kini ia harus memakan dirinya sendiri, akhirnya tinggal mukanya saja. Untuk menghormati kesetiaan Kirthimuka maka ia diangkat sebagai pelindung pada tiap-tiap pintu gerbang Candi Çiwa.
Barong Ket juga dianggap sebagai perwujudan Banaspati Raja atau Raja Hutan. Konsep yang sama juga terdapat di Jawa, seperti Barong Singa dan Reog. Hanya saja di sana Barong Singa dianggap sebagai yang kalah, sedangkan di Bali Barong Ket adalah lambang kebaikan (Bandem, 1983: 29-30).
Menurut Pan Putu Budhiartini (2000: 1), Barong dan Rangda merupakan ilustrasi daripada sifat Tuhan, yang dalam hal ini disebut sebagai Maha Bapak (Bapa) dan Maha Ibu (Meme). Dengan demikian Barong dan Rangda merupakan simbol-simbol untuk mengungkapkan cikal bakal dan asal-usul umat manusia (segala ciptaan) di belahan dunia. Kehidupan apapun yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, semuanya bersumber dari sifat Tuhan dalam wujud Rwa Bhineda (Binnary Oposition: dua unsur yang saling bertentangan tetapi selalu berpasangan), seperti unsur panas/api dan unsur dingin/air.
-
Barong Bangkal

Bangkal adalah babi yang umurnya telah tua. Bangkal dianggap sebagai binatang mitologis yang mengingatkan cerita kelahiran Bhoma. Ketika Brahma dan Wisnu masing-masing menunjukkan kehebatannya, muncul Siwa dalam wujud “lingga kristal yang puncak atasnya menembus langit dan pangkalnya bawahnya masuk jauh ke dalam bumi. Brahma mencari ujung atasnya dalam wujud burung layang-layang dan Wisnu mencari pangkalnya dengan berubah wujud menjadi seekor babi (bangkal) yang buas.
Dalam 10 Awatara Wisnu (Dasa Awatara Wisnu), disebutkan salah satunya adalah Waraha Awatara (awatara ke-3), yaitu Wisnu menjelma ke dunia menjadi waraha (babi hutan) untuk membunuh raksasa Hiranyaksa, yang mau menyeret dunia ini ke dunia bawah (Tim Sabha Sastra Bali, 2005: 16-17).
Untuk selalu mengingat kebesaran kemahakuasaan Tuhan itulah maka dibuat simbol binatang mitologi berupa Barong Bangkal. Sebagai bentuk pemujaan maka Barong Bangkal ini biasanya ngelawang (datang ke depan pintu gerbang atau lawang rumah-rumah penduduk) untuk menari sebagai pengusir kekuatan jahat dalam rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan.
-
Barong Asu
Kata asu merupakan bahasa Bali halus dari kata anjing. Secara leksikal asu juga berarti anjing. Wajah barong ini memang menyerupai kepala anjing. Barong ini merupakan barong angker dan disakralkan. Biasanya juga digunakan untuk ngalawang dan rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan.
-


Barong Macan
 Barong dengan wajah atau topengnya berwujud kepala binatang macan. Barong ini dikaitkan dengan cerita Tantri (Kehidupan Kerajaan Binatang di Rimba Raya), kulitnya dibuat dari kain beludru loreng menyerupai bulu macan asli. Dipentaskan waktu acara ngelawang dalam rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan.
-
Barong Gajah

Barong berwujud seekor gajah yang merupakan binatang paling terkenal di India, juga merupakan mitologi suci. Dipertunjukkan dalam rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan.

Barong Sampi

Berwujud sapi jantan, dipentaskan dalam rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan.
-
Barong Singa

Terdapat di kabupaten Buleleng, topengnya berwujud kepala harimau (singa), fungsinya sama dengan barong lain, sebagai penolak bala bencana.
-
Barong Landung

Barong ini tidak berwujud binatang, melainkan berwujud manusia laki-laki dan perempuan. Kata landung dalam bahasa Bali berarti tinggi, karena wujud dari barong ini baik yang laki-laki maupun yang perempuan semuanya tinggi-tinggi, dimainkan seperti ondel-ondel Betawi. Barong landung seperti barong-barong lainnya sangat disakralkan oleh umat “panyungsung” (pemuja)-nya. Tidak hanya sepasang laki-laki dengan taringnya yang melengkung ke luar, yang disebut Jero Gede, dan perempuan yang berwarna putih/kuning (wajahnya mirip orang Tionghoa), yang disebut Jero Luh, tetapi juga diikuti oleh beberapa pengiring sebagai putra dan putrinya. Sering dipentaskan dalam rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan untuk mengusir para bhuta kala (unsur negatip yang selalu ingin menganggu kehidupan manusia).
-
Barong Brutuk

Barong ini terdapat di Desa Trunyan, Kintamani, Bangli. Wajah atau topeng barong ini menyerupai raksasa, sebagai perwujudan Dewa Ratu Pancering Jagat dan Dewi Ayu Pingit dengan bala pengiringnya. Penari barong ini adalah laki-laki yang ketika pementasan memakai senjata cemeti dari lidi tanpa diiringi gamelan. Klimak pertunjukkan barong ini adalah adalah bertemunya Ratu Pancering Jagat dengan Dewi Ayu Pingit, dilambangkan dengan bertemukan Brutuk laki-laki dengan Brutuk perempuan. Tujuan dari pementasan barong ini adalah untuk memohon kesuburan.
-
Barong Blas-Blasan

Barong ini sering juga disebut Barong Kedingkling atau Nongkling, yang mengingatkan suara gamelan yang ditabuh berbunyi nong-kling. Barong blasan-blasan memakai topeng-topeng para tokoh dalam cerita Ramayana (Wayang Wong), diiringi gamelan batel, bebarongan. Barong ini dipentaskan dengan cara ngelawang dari gerbang satu ke gerbang rumah lainnya. Penarinya sebagian besar anak-anak, sedang penabuhnya orang-orang dewasa.
-
Barong Gagombrangan

Berong jenis ini sudah jarang dapat disaksikan. Kata gombrang artinya rambutnya terurai, sejenis dengan barong memedi (mahkluk halus penghuni hutan, jurang) di beberapa desa di Bali.
-
Barong Jaran

Sejenis barong dengan wajah menyerupai kepala kuda (jaran).
-
Barong Manjangan

Barong dengan wajah menyerupai kepala rusa atau manjangan.
-
Barong Dawang-Dawang

Merupakan variasi lain dari Barog Landung, terdapat di daerah Tabanan, topengnya berwujud raksasa dan sangat besar (Team Survey ASTI, 1977: 117; Titib, 2001: 422). Di desa Muncan, Kabupaten Karangasem disebut Dawang-Dawang untuk yang laki-laki dan Dudong untuk yang perempuan. Dawang-Dawang dan Dudong dibuat dan digunakan sebagai pelengkap upacara ngaben (pembakaran jenazah), yakni mengiringi wadah/bade (usungan jenazah) ke setra (kuburan), bersamaan dengan petulangan yang dapat berupa singa, gajahmina, atau lembu hitam. Di Denpasar tidak terdapat Dawang-Dawang, melainkan Ogoh-Ogoh yang diusung oleh masyarakat sebagai perwujudan roh orang yang meninggal. Namun, dalam perkembangan mutakhir, Ogoh-Ogoh dikaitkan dengan perayaan Nyepi berbentuk Bhuta, Kala dan Raksasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar