Selasa, 09 September 2014

POKOK-POKOK AJARAN AGAMA HINDU

Sesungguhnya setiap agama di muka bumi ini bertitik tolak dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadapNya. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini, menyebabkan kepercayaan kita semakin mantap, bahwa semuanya itu pasti ada sebab-musababnya. Sebab yang terakhir yang menentukan segala-galanya adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Walaupun kita tidak boleh cepat-cepat percaya kepada sesuatu, namun percaya itu penting dalam kehidupan ini. Banyak hal dan kegiatan yang kita laksanakan dalam kehidupan ini hanya berdasarkan kepercayaan saja. Setiap hari kita menyaksikan matahari terbit dan terbenam. Demikian pula adanya bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di angkasa. Belum lagi adanya berbagai mahluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan aneka isi dunia. Adanya pergantian siang dan malam, adanya kelahiran, usia tua dan kematian, semuanya ini mengantarkan kita harus percaya dan yakin terhadap Tuhan. Tuhanlah yang merupakan sumber dari segala yang terjadi di alam semesta ini.
Karena agama itu adalah kepercayaan maka dengan agama pula kita akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan kita pada suatu pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) itu sendiri. Kepada-Nyalah kita menyembah dan memasrahkan diri, karena bagi umat beragama tidak ada tempat lain dari pada-Nya tempat kita kembali dan berserah diri.
Keimanan (Sradha) kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama Hindu. Inilah yang menjadi pokok-pokok keimanan agama Hindu. Adapun pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi lima bagian disebut Panca Sraddha terdiri dari : Brahman, Atman, Karma Phala, Punarbhawa dan Moksa.
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin/iman terhadap Hyang Widhi/Tuhan itu sendiri. Hal ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Adil dan Bijaksana, Maha Esa dan Maha segala-galanya.
Tuhan Yang Maha Esa yang juga disebut Hyang Widhi (Brahman) Ia yang kuasa atas segalanya ini. Tidak ada apapun yang luput dari kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara, dan pelebur alam semesta dengan segala isinya. Dalam Bhagawadgita X.20 :
Aham atma gudakesa, sarva bhūtāsya sthutah Aham adis cha, madyam eka, bhutanam anta eva cha
Aku adalah jiwa yang bersemayam dalam hati semua insani. Wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan pertengahan dan akhir dari semua mahluk dan yang ada ini.
Hyang Widhi bersifat maha ada, juga berada di setiap mahluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanent dan transenden). Beliau merasap di segala tempat yang ada (wyapi-wyapaka) serta tidak berubah dan kekal abadi (nirvikara) bersifat gaib (suksme) dan abstrak tetapi ada.
Dalam Bhuwana Kosa dinyatakan sebagai berikut :
“Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tan keneng angên-angên, kadyangganing akasa tan kagrahita dening manah mwang indrya”
Tuhan (Siva) Dia ada dimana-mana, Dia gaib sukar dibayangkan, bagaikan akasa (ether) Dia tidak dapat dibayangkan oleh akal maupun panca indra.
Walaupun amat gaib tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya, tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada di sana. Tuhan memenuhi jagatraya ini.
Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak terjangkau oleh pikiran dan indrya, yang gaib disebut dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun Ia hanya satu Tunggal ada-Nya. Chandogya Upanisad IV.2.1 menyebutkan “Ekam eva Advityam Brahman” Tuhan hanya satu tidak ada dua-Nya. “Eko narayanad na dvityo sti kascit (Weda Sanggraha). Hanya satu Tuhan tidak ada duanya.
Kekawin Sutasoma menyebutkan : “Bhineka tunggalika tan hana dharma mangrva” Berbeda-beda tetapi satu tidak ada “Dharma”/sat/kebenaran yang dua.
Mantram Rg. Weda I.46 menyebutkan :
“Indram nutram varunam agnim akur atho dwiyah sa suparmo garutman, ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh”.
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisvan.
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan Yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsi-Nya. Ia disebut Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pemelihara dan Siwa sebagai Pamralina. Banyak lagi panggilan-Nya yang lain. Orang-orang menyembahNya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda. KepadaNyalah orang bersaksi, berserah diri, mohon perlindungan dan petunjukNya agar menemukan jalan yang terang dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
Dalam berbagai Upanisad Atman dikatakan sebagai percikan dari Hyang Widhi/Tuhan (Paramātma). Atman dalam badan manusia disebut Jiwatma, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan ibarat kusir dengan kereta. Kusir adalah atma yang mengemudikan, kereta adalah badan.
Angustha matrah purusantarātman Sada jananam hrdoya samuvishtthah Hradam nisi manasbhi kerto yaetad Viduramrstate bhavanti (Upanisad)
Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran, mereka mengetahuinya menjadi abadi.
Satu “Sat” yang bersembunyi dalam setiap mahluk yang menghidupi semuanya, yang merupakan jiwa semua mahluk, raja dari semua perbuatan pada semua mahluk, saksi yang mengetahui dan tunggal. Demikian atman merupakan percikan kecil dari Paramātman, bagaikan titik embun berasal dari uapan air laut. Demikian juga percikan pancaran sinar matahari menerangi pelosok alam semesta ini.
Oleh karena atman adalah bagian dari Brahman maka atman pada hakekatnya memiliki sifat yang sama dengan sumbernya, yakni Brahman itu sendiri. Atman bersifat sempurna dan kekal abadi, tidak mengalami kelahiran dan kematian, bebas dari suka dan dukha.
Dalam Bhagawadgita II,23-25 disebutkan bahwa sifat-sifat atman sebagai berikut : Senjata tidak dapat melukai Dia, dan api tak dapat membakarnya, angin tak dapat mengeringkan Dia, dan air tidak bisa membasahiNya.
Dia adalah abadi, tiada berubah, tidak bergerak, tetap selama-lamanya. Dia dikatakan tidak termanifestasikan, tidak dapat dipikirkan, tidak berubah-ubah, dan mengetahui halnya demikian engkau hendaknya jangan berduka. Dia mengatasi segala elemen materi, kekal abadi dan tidak terpikirkan. Oleh karena itu atman tidak dapat menjadi subyek maupun obyek dari perubahan-perubahan yang dialami oleh pikiran, hidup dan badan jasmani. Karena semua bentuk-bentuk yang dialami ini bisa berubah, datang dan pergi, tetapi jiwa itu tetap langgeng untuk selamanya.
Perpaduan jiwatman dengan badan jasmani, menyebabkan Dia terpengaruh oleh sifat-sifat maya yang menimbulkan avidya (kegelapan). Jadi manusia lahir dalam keadaan avidya, yang menyebabkan ketidaksempurnaannya. Atman itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna. Manusia tidak luput dari hukum lahir, hidup dan mati. Walaupun manusia itu mengalami kematian, namun atman itu tidak akan bisa mati. Hanya badan yang mati dan hancur, sedangkan atman tetap kekal abadi.
“Ibarat orang yang menanggalkan pakaian lama dan menggantikannya dengan pakaian yang baru demikian jiwa meninggalkan badan tua dan memasuki jasmani yang baru. Apabila badan jasmani tua dan hancur, maka alam pikiran sebagai pembalut jiwa merupakan kendaraan baginya untuk berpindah-pindah dari satu badan ke badan lain yang disebut reinkarnasi atau punarbhawa sesuai dengan karma phalanya. Karena itu atman tidak akan selalu dapat kembali kepada asalnya yaitu Tuhan. Orang-orang yang berbuat baik di dunia akan menuju sorga dan yang berbuat buruk akan jatuh ke neraka. Di neraka jiwatman mendapat siksaan dan setelah itu menjelma terus berkelanjutan sampai jiwatman sadar akan jati dirinya sebagai atman terlepas dari pengaruh awidya dan mencapai moksa (kebahagiaan dan bersatu kembali kepada-Nya).
Segala gerak (aktivitas) yang dilakukan disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah disadari atau diluar kesadaran kesemua itu disebut “karma” berasal dari √kr (bahasa Sanskerta) artinya bergerak atau berbuat. Menurut hukum sebab-akibat, maka setiap sebab pasti ada akibat. Demikian pula sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah atau hasil.
Dalam Slokantara, 68 dinyatakan : “Karma Phala ngaranika phalaning gawe hala hayu” maksudnya Karmaphala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan (karma). Hukum karma itu sesungguhnya amat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk dan menentukan seseorang hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Setiap orang berbuat baik (subha karma) pasti akan membuahkan hasil yang baik demikian pula sebaliknya.
Phala (hasil) dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan (dinikmati). Tangan yang menyentuh es akan seketika merasakan dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk dapat memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas (ada bekas yang nyata dalam angan dan ada yang abstrak). Oleh karena itu hasil-hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan ia terima setelah di akhirat kelak atau adakalanya dinikmati pada kehidupan/penjelmaan yang akan datang.
Dengan demikian Karma Phala dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam yaitu :
1. Sancita Karmaphala ialah hasil perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang dinikmati pada masa kehidupan ini. 2. Prarabda Karmaphala ialah hasil perbuatan pada masa kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi. 3. Kryamana Karmaphala ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat kehidupan ini, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Tegasnya, bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti segala hasil dari perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan (karma).
Dalam Wrhaspati Tattwa.3 dinyatakan : “Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukannya di dunia ini, orang akan mengecap akibatnya di alam lain, pada kelahiran nanti, apakah akibat itu baik atau buruk. Hal ini ibarat periuk yang diisi kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci, namun tetap saja masih ada bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. (Inilah wasana namanya) seperti itu juga hal dengan karma wasana, ia ada pada atma, ia melekat padaNya dan mewarnai jiwatman itu sendiri.
Pengaruh hukum karma itu pulalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar