Sesungguhnya setiap agama di muka bumi ini bertitik tolak dari
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Banyak hal yang mendorong kita
harus percaya terhadapNya. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di
dunia ini, menyebabkan kepercayaan kita semakin mantap, bahwa semuanya
itu pasti ada sebab-musababnya. Sebab yang terakhir yang menentukan
segala-galanya adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Walaupun kita tidak boleh cepat-cepat percaya kepada sesuatu, namun
percaya itu penting dalam kehidupan ini. Banyak hal dan kegiatan yang
kita laksanakan dalam kehidupan ini hanya berdasarkan kepercayaan saja.
Setiap hari kita menyaksikan matahari terbit dan terbenam. Demikian pula
adanya bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di angkasa. Belum
lagi adanya berbagai mahluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan aneka isi dunia.
Adanya pergantian siang dan malam, adanya kelahiran, usia tua dan
kematian, semuanya ini mengantarkan kita harus percaya dan yakin
terhadap Tuhan. Tuhanlah yang merupakan sumber dari segala yang terjadi
di alam semesta ini.
Karena agama itu adalah kepercayaan maka dengan agama pula kita akan
merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan kita pada suatu
pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa
(Ida Sang Hyang Widhi Wasa) itu sendiri. Kepada-Nyalah kita menyembah
dan memasrahkan diri, karena bagi umat beragama tidak ada tempat lain
dari pada-Nya tempat kita kembali dan berserah diri.
Keimanan (Sradha) kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama
Hindu. Inilah yang menjadi pokok-pokok keimanan agama Hindu. Adapun
pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi lima bagian
disebut Panca Sraddha terdiri dari : Brahman, Atman, Karma Phala,
Punarbhawa dan Moksa.
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin/iman terhadap
Hyang Widhi/Tuhan itu sendiri. Hal ini merupakan pengakuan atas dasar
keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Adil dan
Bijaksana, Maha Esa dan Maha segala-galanya.
Tuhan Yang Maha Esa yang juga disebut Hyang Widhi (Brahman) Ia yang
kuasa atas segalanya ini. Tidak ada apapun yang luput dari kuasa-Nya. Ia
sebagai pencipta, sebagai pemelihara, dan pelebur alam semesta dengan
segala isinya. Dalam Bhagawadgita X.20 :
Aham atma gudakesa, sarva bhūtāsya sthutah
Aham adis cha, madyam eka, bhutanam anta eva cha
Aku adalah jiwa yang bersemayam dalam hati semua insani. Wahai
Gudakesa, Aku adalah permulaan pertengahan dan akhir dari semua mahluk
dan yang ada ini.
Hyang Widhi bersifat maha ada, juga berada di setiap mahluk hidup,
di dalam maupun di luar dunia (imanent dan transenden). Beliau merasap
di segala tempat yang ada (wyapi-wyapaka) serta tidak berubah dan kekal
abadi (nirvikara) bersifat gaib (suksme) dan abstrak tetapi ada.
Dalam Bhuwana Kosa dinyatakan sebagai berikut :
“Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tan keneng angên-angên, kadyangganing akasa tan kagrahita dening manah mwang indrya”
Tuhan (Siva) Dia ada dimana-mana, Dia gaib sukar dibayangkan,
bagaikan akasa (ether) Dia tidak dapat dibayangkan oleh akal maupun
panca indra.
Walaupun amat gaib tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat
wyapi-wyapaka, meresapi segalanya, tiada suatu tempatpun yang Beliau
tiada tempati. Beliau ada disini dan berada di sana. Tuhan memenuhi
jagatraya ini.
Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak terjangkau oleh pikiran dan indrya,
yang gaib disebut dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran,
namun Ia hanya satu Tunggal ada-Nya. Chandogya Upanisad IV.2.1
menyebutkan “Ekam eva Advityam Brahman” Tuhan hanya satu tidak ada
dua-Nya. “Eko narayanad na dvityo sti kascit (Weda Sanggraha). Hanya
satu Tuhan tidak ada duanya.
Kekawin Sutasoma menyebutkan : “Bhineka tunggalika tan hana dharma mangrva”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada “Dharma”/sat/kebenaran yang dua.
Mantram Rg. Weda I.46 menyebutkan :
“Indram nutram varunam agnim akur atho dwiyah sa suparmo garutman,
ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh”.
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya,
yaitu Garutman yang bersayap elok, satu itu (Tuhan) Sang bijaksana
menyebut banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisvan.
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan
bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan Yang Tunggal (Esa) itu
dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsi-Nya. Ia disebut
Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pemelihara dan Siwa sebagai
Pamralina. Banyak lagi panggilan-Nya yang lain. Orang-orang menyembahNya
dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda. KepadaNyalah orang
bersaksi, berserah diri, mohon perlindungan dan petunjukNya agar
menemukan jalan yang terang dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
Dalam berbagai Upanisad Atman dikatakan sebagai percikan dari Hyang
Widhi/Tuhan (Paramātma). Atman dalam badan manusia disebut Jiwatma, yang
menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan ibarat kusir dengan
kereta. Kusir adalah atma yang mengemudikan, kereta adalah badan.
Angustha matrah purusantarātman
Sada jananam hrdoya samuvishtthah
Hradam nisi manasbhi kerto yaetad
Viduramrstate bhavanti (Upanisad)
Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling
kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan
pikiran, mereka mengetahuinya menjadi abadi.
Satu “Sat” yang bersembunyi dalam setiap mahluk yang menghidupi
semuanya, yang merupakan jiwa semua mahluk, raja dari semua perbuatan
pada semua mahluk, saksi yang mengetahui dan tunggal. Demikian atman
merupakan percikan kecil dari Paramātman, bagaikan titik embun berasal
dari uapan air laut. Demikian juga percikan pancaran sinar matahari
menerangi pelosok alam semesta ini.
Oleh karena atman adalah bagian dari Brahman maka atman pada
hakekatnya memiliki sifat yang sama dengan sumbernya, yakni Brahman itu
sendiri. Atman bersifat sempurna dan kekal abadi, tidak mengalami
kelahiran dan kematian, bebas dari suka dan dukha.
Dalam Bhagawadgita II,23-25 disebutkan bahwa sifat-sifat atman
sebagai berikut :
Senjata tidak dapat melukai Dia, dan api tak dapat membakarnya, angin
tak dapat mengeringkan Dia, dan air tidak bisa membasahiNya.
Dia adalah abadi, tiada berubah, tidak bergerak, tetap
selama-lamanya. Dia dikatakan tidak termanifestasikan, tidak dapat
dipikirkan, tidak berubah-ubah, dan mengetahui halnya demikian engkau
hendaknya jangan berduka. Dia mengatasi segala elemen materi, kekal
abadi dan tidak terpikirkan. Oleh karena itu atman tidak dapat menjadi
subyek maupun obyek dari perubahan-perubahan yang dialami oleh pikiran,
hidup dan badan jasmani. Karena semua bentuk-bentuk yang dialami ini
bisa berubah, datang dan pergi, tetapi jiwa itu tetap langgeng untuk
selamanya.
Perpaduan jiwatman dengan badan jasmani, menyebabkan Dia terpengaruh
oleh sifat-sifat maya yang menimbulkan avidya (kegelapan). Jadi manusia
lahir dalam keadaan avidya, yang menyebabkan ketidaksempurnaannya. Atman
itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna.
Manusia tidak luput dari hukum lahir, hidup dan mati. Walaupun manusia
itu mengalami kematian, namun atman itu tidak akan bisa mati. Hanya
badan yang mati dan hancur, sedangkan atman tetap kekal abadi.
“Ibarat orang yang menanggalkan pakaian lama dan menggantikannya
dengan pakaian yang baru demikian jiwa meninggalkan badan tua dan
memasuki jasmani yang baru. Apabila badan jasmani tua dan hancur, maka
alam pikiran sebagai pembalut jiwa merupakan kendaraan baginya untuk
berpindah-pindah dari satu badan ke badan lain yang disebut reinkarnasi
atau punarbhawa sesuai dengan karma phalanya. Karena itu atman tidak
akan selalu dapat kembali kepada asalnya yaitu Tuhan. Orang-orang yang
berbuat baik di dunia akan menuju sorga dan yang berbuat buruk akan
jatuh ke neraka. Di neraka jiwatman mendapat siksaan dan setelah itu
menjelma terus berkelanjutan sampai jiwatman sadar akan jati dirinya
sebagai atman terlepas dari pengaruh awidya dan mencapai moksa
(kebahagiaan dan bersatu kembali kepada-Nya).
Segala gerak (aktivitas) yang dilakukan disengaja atau tidak, baik
atau buruk, benar atau salah disadari atau diluar kesadaran kesemua itu
disebut “karma” berasal dari √kr (bahasa Sanskerta) artinya bergerak
atau berbuat. Menurut hukum sebab-akibat, maka setiap sebab pasti ada
akibat. Demikian pula sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan
menimbulkan akibat, buah atau hasil.
Dalam Slokantara, 68 dinyatakan : “Karma Phala ngaranika
phalaning gawe hala hayu” maksudnya Karmaphala adalah akibat phala dari
baik buruk suatu perbuatan (karma). Hukum karma itu sesungguhnya amat
berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk dan menentukan
seseorang hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Setiap orang
berbuat baik (subha karma) pasti akan membuahkan hasil yang baik
demikian pula sebaliknya.
Phala (hasil) dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat
dirasakan (dinikmati). Tangan yang menyentuh es akan seketika merasakan
dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk dapat
memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas (ada bekas
yang nyata dalam angan dan ada yang abstrak). Oleh karena itu
hasil-hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat
atau pada kehidupan sekarang maka akan ia terima setelah di akhirat
kelak atau adakalanya dinikmati pada kehidupan/penjelmaan yang akan
datang.
Dengan demikian Karma Phala dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam yaitu :
1. Sancita Karmaphala ialah hasil perbuatan dalam kehidupan terdahulu
yang dinikmati pada masa kehidupan ini.
2. Prarabda Karmaphala ialah hasil perbuatan pada masa kehidupan ini
tanpa ada sisanya lagi.
3. Kryamana Karmaphala ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati
pada saat kehidupan ini, sehingga harus diterima pada kehidupan yang
akan datang.
Tegasnya, bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau
nanti segala hasil dari perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal
itu sudah merupakan hukum perbuatan (karma).
Dalam Wrhaspati Tattwa.3 dinyatakan : “Wasana artinya bahwa semua
perbuatan yang telah dilakukannya di dunia ini, orang akan mengecap
akibatnya di alam lain, pada kelahiran nanti, apakah akibat itu baik
atau buruk. Hal ini ibarat periuk yang diisi kemenyan, walaupun
kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci, namun tetap saja masih ada
bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. (Inilah wasana namanya)
seperti itu juga hal dengan karma wasana, ia ada pada atma, ia melekat
padaNya dan mewarnai jiwatman itu sendiri.
Pengaruh hukum karma itu pulalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar